Katanya psikologi adalah ilmu yang mempelajari batin kita, namun apakah yang membentuk batin itu? Fikiran-perasaan-fisik yang kita miliki? Tentu saja, seluruh hal di dalam diri kita laksana Three musketiers-3 dalam satu, nggak nyaman salah satu, yang lain akan terganggu.
Salah satu yang membentuk batin kita yaitu fikiran, ternyata dipelajari secara khusus oleh psikologi, nama kerennnya adalah PSIKOLOGI KOGNITIF. Walaupun konon psikologi kognitif bermula karena setiap orang selalu mengedepankan kepribadian dari apa yang ia fikirkan, namun sebenarnya, jauh sebelum itu Mencius (filsuf China) mengatakan "Manusia superior tidak akan berfikiran sempit dan minta dihargai". Jadi manusia superior memang lahir karena ia berfikiran 'besar' dan otomatis ia dihargai karena 'kebesarannya'. Lalu bagaimana ia bisa besar?
Akar dari psikologi kognitif bermula ketika Gestalt mengatakan bahwa pola keseluruhan stimulus kompleks yang kita terima tidak akan sama dengan bagian-bagian stimulus yang dianalisa secara terpisah. Untuk menjelaskan hal ini ia memisalkan membuat satu lingkaran dengan empat garis,dan satu lingkaran dengan dua garis di posisi atas, garis tegak di tengah dan satu garis di posisi bawah lingkaran, sehingga membentuk gambar wajah. Keduanya memiliki unsur sama, tetapi kita tidak mendapat impresi yang sama melihat keduanya.
Konon teori Gestalt ini belum populer sebelum ada teori Ruang dari Kurt Lewin. Lewin menemukan bahwa dalam ruang kehidupan, persis seperti matematika, ada konteks vector. Jadi seseorang yang SADAR RUANG, pengambilan keputusannya sangat dipengaruhi konteks (atau ruang) dari masalahnya yang terlihat jelas namun tidak secara langsung berkaitan dengan solusi yang harus ditemukan. Orang yang kurang memiliki kesadaran ruang, pandangannya lebih rasional dan ia lebih memperhatikan informasi yang diberikan tubuhnya. Ada UNTUNG nya menjadi orang yang tidak tergantung ruang, karena ia akan lebih memilih keputusan yang tepat. Namun permasalahan tidak sesederhana itu, seringkali konteks perlu dipertimbangkan juga, jadi pada akhirnya tidak baik untuk selalu mengabaikan atau terlalu tergantung pada ruang.
Dalam konteks lintas budaya, Witkin mengatakan bahwa variable kognitif yang bernama kompleksitas kognisi sangat baik untuk memahami, menggunakan dan merasa nyaman dengan banyak aspek. Namun tidak setiap orang dapat menggunakan kognisinya secara kompleks, banyak juga orang yang lebih memilih berfikir simple dan absolute.
Dalam setiap pengalaman menggunakan kognisinya, manusia membuat skema yaitu struktur kofnitif baru agar selalu mendapatkan pola terbaik dalam memahami dunianya. Jika dua orang bertemu, mereka harus menyamakan skema agar tidak terjadi miskomunikasi. Contohnya ketika 2 orang ingin bersantai dengan makan direstoran, yang satu sedang pusing dengan pekerjaan kantor, yang lain ada hati terhadap teman santainya ini. Tentunya skema yang ada di fikiran masing-masing bisa sangat tidak relevan. Untuk satu orang misal muncul skema: bagaimana agar tampil elegan atau mengesankan dengan cara bicara anggun kepada pelayan restoran, lalu makan dengan penuh sopan santun. Ia juga memikirkan skema percakapan yang sekiranya membawa temannya pada kesamaan jiwa (misalnya 'jadian'...) nah skema ini akan rusak jika ditanggapi dengan SKRIP (skema yang sudah familiar) BISNIS misalnya. Dimana skema romantisme dilawan skema formal yang mengharapkan ada bantuan/keuntungan bisnis dalam pertemuan ini. Jika hal ini terjadi, maka tidak akan terbentuk skema baru yangsama.
Selain skema,seseorang paling senang membuat KATEGORI (menurut Piaget). Kategori ini bersifat otomatis dan universal. Seperti sebuah computer, otak kita menerima informasi jauh lebih banyak dari yang anda bayangkan. Mungkin yang kita lihat hanya secangkir teh di sebuah restoran. Tapi otak kita menerima berjuta informasi bahkan ketika kita tidak menyadari misalnya pada saat itu ada seorang teman kita lewat dan tidak menyapa, cuaca yang terjadi, berisik di luar restoran dan lain-lain. Sayangnya sebenarnya kategori ini punya dampak negatif yaitu prasangka.
Kategori selalu tergantung pada ekspektasi dan pengalaman relevan sebelumnya. Jadi seperti sebuah isian, informasi yang masuk membentuk satu rangkaian puzzle dimana sisanya kita isi sendiri. Lalu lahirlah respon. Makanya ada persepsi yang berbeda pada satu masalah yang sama, karena pola-pola kategori dan ekspektasi tiap individu berbeda.
George Kellymengatakan bahwa manusia selalu aktif untuk menginterpretasikan dan memahami dunianya, that's why, teorinya disebut teori konstruk personal. Karena berusaha mengkonstrukan apa yang diterima individu secara personal. Jadi menurut Kelly, "proses yang terjadi dalam diri seseorang ditentukan oleh bagaimana ia mengantisipasi kejadian tersebut" atau ia melihat perilaku seseorang adalah hasil dari interpretasinya terhadap keadaan dan ekspektasi yang muncul karenanya. Hebat bukan?
Sampai sini sayamerasa bahwa setiap orang bijak dapat memahami hal ini, tanpa harus belajarpsikologi secara detil. Karena ia akan mengalami sesuatu dan kemudian menjelaskan apa yang dialaminya sebagai buah kebijakannya. Namun disinilah hebatnya manusia: satu kebijakan dirangkai dengan kebijakan lain, sehingga seseorang dimasa setelah itu tidak perlu mengalami dari awal segala peristiwa, cukup belajar apa yang terjadi, dan mengembangkan dunia yang terbaik.
Kehebatan psikologi kognitif tidak hanya sampai disitu, ada yang mencengangkan dari penelitianSeligman. Katanya seseorang harus memiliki kendali atas apa yang dia alami. Itumerupakan syarat mutlak untuk tumbuh sebagai manusia. Jika tidak "dimana ia terus menerus mengalami hukuman yang tidak terhindarkan sehingga membuatnya menerima begitu saja hukuman berikutnya, yang sebenarnya bisa ia hindari" aliasTIDAK BERDAYA.
Dan tahukah anda bagaimana resolusi Seligman untuk mengatasinya? Cukup dengan memproses UNTUKMENGATASI FIKIRAN PESIMIS sehingga tidak terjadi depresi. Oooo... obatnya adalahOPTIMIS?! Menurut Seligman lagi Gaya Eksplanatori optimis atau satu susunan variabel kepribadian kognitif yang menjelaskan metode untuk menginterpretasikan kejadian dalam hidupnya SECARA OPTIMIS. Seligman mencontohkan bahwa nilai buruk bagi seorang yang optimis berarti UMPAN BALIKyang bermanfaat, yang memberi informasi ia perlu mengganti metode belajarnya dan metode mencatatnya. Sedangkan bagi yang Gaya eksplanatori pesimis, nilai buruk berarti INKOMPETENSI (menyalahkan factor internal) atau menyalahkan factor eksternal (gurunya galak, gak enak neranginnya dll) yang mengakibatkan EKSPEKTASI SISWA tersebut turun dan gagal pada ujian berikutnya. Sedangkan pada Gaya eksplanatori opmitis (diukur menggunakan instrument yang sudah terstandarisasi) menyebutkan bahwa mereka percaya USAHA, PERBAIKAN BELAJAR, KEBIASAAN BELAJAR DAN DISIPLIN dapat meningkatkan nilai ujian dengan skor yang jauh lebih tinggi ketika masuk perguruan tinggi.
Namun optimism berlebihanjuga bukan tanpa efek samping. Menurut Paterson dkk, optimism berlebihan dapatmenghalangi tercapainya kesuksesan karena mereka mengabaikan atau memandangrendah masalah yang mungkin timbul.
Wah, kalau menurut saya sih, optimism yang kedua bukan optimism namanya. Karena sikap optimis bukan berarti tanpa perhitungan, optimis bukan berarti tidak waspada. Betul tidak? Ok... tanpa perlu repot-repot membaca tulisan ini:
Kesimpulannya: SELAMAT MENJAGAOPTIMISME DIRI ANDA, DAN JUGA SEBARKANLAH OPTIMISME INI PADA ORANG-ORANG YANG ANDA CINTAI, mudah-mudahan kognitif kita berkembang bagus dan tentunya menjadi manusia yang lebih bersyukur kepada Allah.
By : Endah Kurniadarmi
0 komentar:
Posting Komentar