Berpura-pura Berbuat Baik

Pagi ini seorang sahabat mengeluh karena Bundanya banyak mengomel dan mengeluh karena pendengaran berkurang, penglihatan menjadi kabur, dan merasa pikun. Semakin di hibur, semakin marahlah Bundanya. Ppadahal sahabatku mengatakan, dia juga bukan orang yang sabar. Dia bisa naik darah, lalu bagaimana puasanya?

Ah, setengah termenung, kepalan kuketuk-ketuk kemulut. Apa yang harus kukatakan. Kadang keharusan bertentangan dengan kejujuran. Jika melihat dari pengetahuan, aku bisa saja menasihati sahabatku dengan mengambil apa saja: buku sakti, ayat Qur'an atau apapun untuk membuat pembenaran mengenai Surga itu ada di telapak kaki Ibu. Namun, aku sendiri bukanlah orang shaleh. Sering aku masih memendam protes atau bahkan menyangkal bundaku sendiri. Padahal sudah jelas: Ah saja tidak boleh dilakukan, apalagi memprotes dengan cara yang menyakitkan.

Iseng aku meraih buku yang diberikan guruku: The Art of Enjoying Life. Tiba di halaman 2 aku menemukan cerita menarik. Ini cerita yang sudah lama sekali, tapi hari ini aku tersentuh membacanya. Tersebutlah seorang menantu dan selalu bertengkar dengan mertuanya. Saking putus asanya sang menantu lalu pergi ketoko obat untuk mencari racun untuk membunuh ibu mertuanya. Sang pemilik toko berfikir sejenak lalu ia berkata "Baiklah akan saya berikan racun dengan dosis ringan. Agar kematian tidak terjadi tiba-tiba. Namun supaya tidak ketahuan, selama proses 'peracunan' ini, anda harus 'berpura-pura' baik pada ibu mertua anda, lakukan hal itu sepenuh hati.

Pendek kata sang Menantu setuju dan mulailah ia 'berpura-pura'. Pura-pura lebih sabar terhadap mertuanya, pura-pura lebih banyak tersenyum, pura-pura lebih sopan, pura-pura melakukan hal-hal yang bisa mengambil hati ibu mertuanya: mempelajari masakan kesukaan ibu mertua, bahkan mati-matian mengoreksi perkatan dan perbuatan yang kiranya bisa membuat ibu mertuanya tersinggung.

Hari berganti, sang Menantu tiba-tiba merasa ia tidak lagi berpura-pura, ia 'jatuh hati' benar-benar pada ibu Mertuanya. Ia pun mendatangi tukang obat dan meminta racun penawar agar ibu mertuanya panjang umur, karena sekarang Ibu Mertuanya sangat sayang padanya. Dan apa kata penjual obat? "Ibu tidak usah khawatir, yang saya berikan adalah vitamin. Racun yang sebenarnya ada di hati ibu sendiri sehingga mempengaruhi fikiran dan akhirnya meracuni perilaku Ibu. Sekarang Ibu sudah belajar bahwa mengubah perilaku diri dengan sendirinya merubah fikiran Ibu".

Yang dilakukan tukang obat itu jelas merupakan suatu proses membolak-balik makna. Fikiran mempengaruhi cara berfikir dan akhirnya mempengaruhi perilaku. Jika perilaku di rubah, maka akan mengubah cara berfikir dan merubah konsep dalam fikiran itu sendiri.

Ah sejenak saya membayangkan, bagaimana kalau kepura-puraan itu saya bawa kemana-mana. Jika sedang marah, saya akan berpura-pura sangat sayang, sehingga saya mulai memikirkan sisi-sisi positif, bagaimana mengambil hati orang yang ingin saya marahi, dan saya harus mati-matian mengoreksi perkataan dan perbuatan yang sekiranya akan menyinggung. Ah... andaikan itu terjadi. Subhanallah.. aku harus lebih berhati-hati dengan proses berfikirku, sebab itu akan menjadi program dalam keseharianku, dan aku harus berhati-hati dalam perilakuku karena itu akan mempengaruhi program dalam fikiran dan perasaanku.

Ya Allah, aku sangat lemah. Jika tidak Engkau kuatkan, mana bisa aku melakukan semua ini.

By : Endah Kurniadarmi

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar